Hey, You!

Selasa, 12 Februari 2019




First love;
Merindu tapi menyakitkan.
Melupakan tapi berharap.

Kaset kenangan belasan tahun yang lalu masih tertata rapi, tidak berdebu bahkan rekamannya masih tergambar jelas. Yang membedakan sekarang hanya angan. Angan tanpa kesempatan untuk bersama kembali karena Tuhan tidak pernah melempar dadu yang sama. Yang pada akhirnya hanya bisa meratapi bagaimana indahnya bertemu denganmu dulu pada senja yang setia menjadi saksi tiap bertemunya kita yang belum mengenal arti hidup tapi mampu membahagiakan hati dengan berkasih.

Senja saat ini masih sama, berwarna jingga dengan lengkungan awan seakan tersenyum dan meyakinkan kita jika hidup akan baik-baik saja meski tidak bersama. Mungkin saja Tuhan ingin kita meyakini bahwa mencintai hanya cukup mendengar kamu baik-baik saja dan bahwa merindu hanya cukup mendo’akan mu saja.

Kamu baik-baik saja? Aku tidak.

Karena sangat sulit membuka ruang usang di hati ini. Kuncinya ku titipkan padamu. Dulu.

Karena aku masih berharap pada kedua tanganmu menggenggam erat disela jemariku dengan hangat. Melanjutkan kisah yang belum selesai dan menuliskan kembali cerita yang halamannya masih terlihat kosong.

Boleh aku sedikit tertawa tentang kebodohan yang masih berharap? Bodoh memang mengharapkan sesuatu yang bukan takdir kita.

Bagaimanapun kita memaksa tetap saja selesai. Mungkin kita harus menutup semua berkas yang berisikan tentang kisah-kisah kita dan menenggelamkan ke dasar ingatan agar tidak berharap lagi. Dan aku juga harus meninggalkan ruang usang ini, tidak ingin menanyakan lagi kuncinya.

Kamu tahu? Bagaimanapun aku berusaha melupakan, rasanya semakin sesak. Hal yang paling berat untuk melepaskanmu disaat kita tidak pernah saling menyakiti, disaat kita sama-sama merasakan pertama kali jatuh cinta, disaat kita masih mencintai dan terpaksa pergi dengan kesalahpahaman.

Yang terbaik saat ini hanya mendo’akanmu agar kamu bahagia seperti saat kita pertama bertemu. Ku titipkan semua ceritaku tentangmu pada senja agar kelak disaat kamu pejamkan mata, senja akan menguraikan ceritanya tentang hati yang sudah berakhir tapi masih mampu mencintaimu selamanya.

Aku bahagia bersamamu dulu.
Dan sekarang kita selesai.
 Meski berat.




BUKAN LAGI TENTANG LAYAK

Jumat, 20 Juli 2018

Pict by wokeeh.com



Ini bukan lagi tentang aku yang selalu terlihat baik-baik saja. Bukan pula tentang aku dengan semua penerimaan hidup.

Ini bukan lagi tentang cerita mengadu pada langit, menitik air mata pada hujan lalu setelahnya berusaha menerima pada pelangi. Bukan pula tentang kisah-kisah roman picisan yang disimpan jingga pada senja.

Ini bukan lagi tentang melukai dan bukan juga tentang bagaimana caranya aku bahagia.

Tapi ini tentang rasa yang tidak kamu rasa.

Kamu tidak tahu, ada hati yang sudah terlalu lama menyimpan perasaan sampai berkali-kali mengganti kunci karena selalu mendobrak pintu dengan kencang untuk berteriak bahwa ini menyakitkan. Tidak. Kamu tidak tahu.

Jika sesudahnya kamu merasa aku layak mendengar semua tentang cerita-cerita kamu. Aku tidak peduli. Aku butuh kamu ketika kamu sedih bahwasanya masih ingat ada sandaran bahu yang siap menopang. Aku juga tidak peduli seberapa sering kamu melewatkan pandangan yang terluka di kedua mataku asal kamu bahagia. Aku pengecut memang. Membiarkanmu tertawa bersama orang lain dan nyaman berada didekat lelaki itu.

Asal kamu bahagia, aku-pun demikian. Karena demikianlah aku mencintaimu dalam diam. Kebisuan yang tercipta setiap kali ada didekatmu seakan-akan berpesta dalam kebodohan. Mungkin juga bodoh bahwa setiap kamu sudah terlelap tidur disana, diam-diam aku merapal do’a yang sama, menyebut nama kamu dalam titik persinggahan. Yakni pernikahan.

Sejauh kamu berkelana, bersinggah pada tempat manapun, ingatlah bahwa hati ini sebenar-benarnya persinggahan yang baik buatmu. Menunggumu mengunjunginya dan menutup pintu rapat-rapat biar tidak ada orang yang bisa merusaknya. Mungkin bukan sekarang, karena sekarang aku masih orang bodoh yang tidak tega membiarkanmu terkunci rapat di ruangan ini, biarlah kamu mencari tempat yang baik buatmu sampai lelah. Karena ketika lelah, tanpa kamu sadari pintu itu menghampirimu sendiri.

Meski tidak terlihat dan hanya sekelebat saja aku dimatamu. Setidaknya aku percaya bahwa rasa inI layak kamu miliki. Karena aku hanyalah manusia biasa yang bisa mencintai apa adanya dan seada-adanya. Tidak sedikit dan berlebihan karena berusaha sempurna untuk kamu miliki.

Meski sampai saat ini menyakitkan, tapi aku bisa apa selain menunggu. Menunggu yang tidak pasti untuk seseorang yang sudah mengelak menerima perasaan ini. Menunggu yang tidak ada ujungnya, kekecewaanmu dulu ketika aku menolakmu sudah tidak layak dijabarkan pada garis takdir. Entah karma atau tidak, setidaknya aku menyukai kamu yang sekarang, menerimaku ada diantara kesedihanmu.

Terima kasih telah menerimaku kembali dalam bentuk pertemanan meski kamu pernah sangat kecewa. Setidaknya itu yang selalu ku ucap pada hati yang sudah terlalu lama berteriak, “Aku mencintaimu.”

Percayalah akan suatu hari nanti, dimana kamu sudah tidak bisa lagi sendirian karena butuh uluran tangan untuk berjalan, butuh penopang dikala jatuh dan butuh seseorang untuk mengingat kembali berdiri kuat, ada aku yang sudah siap menggenggam erat tanganmu untuk menuntunmu kembali pulang.

DIAM

Kamis, 31 Desember 2015

Ada beberapa orang yang mudah sekali membicarakan betapa konyolnya kejadian hidup yang dialami, menceritakan secara detile kejadian yang menarik dalam hidupnya atau tersenyum bahkan sambil menangis merasakan pahit getirnya kehidupan.



Namun aku?

Aku bisa apa selain diam dan berbisik pada hati betapa kerasnya hidup yang seakan selalu menjanjikan cerita manis semanis popcorn caramel. Aku bisa apa selain menarik diri lalu kesal sendiri pada hati yang terus membisu, terus menontonku betapa dahsyatnya gemertak gigi ini menahan untuk tetap diam.

Padahal ada beberapa bagian yang terlewati dengan sangat manis sampai melupa bahwa setiap hidup punya berbagai rasa. Sangat perlu mengucapkan, “Terima kasih// Mohon maaf // Akan membalas kebaikan suatu hari nanti.”. Namun entah mengapa sangat sulit mengeja ketika berada dihadapannya, seakan-akan mulut ini butuh waktu sekali lagi untuk bungkam sampai menunggu pada waktu yang tepat dan waktu yang sudah seharusnya.

Begitu sulit namun bukan tidak mampu, hanya saja ada hal yang aku khawatirkan adanya suatu perubahan saling bicara dan saling tatap. Tidak enak atau aku ingin tetap keadaan seperti ini, terlihat baik-baik saja. Atau seakan baik-baik saja?

Aku hanya bisa menggelar sajadah merapal do’a seraya menyebut nama yang diam-diam sudah aku cantumkan pada Tuhan. Mungkin saja Tuhan akan mengiba pada yang lemah. Ditariknya nama-nama tersebut dan diletakan pada masing-masing hati. Hingga mereka paham bahwa kebaikannya tidak sia-sia, kebaikan yang akan selalu berada pada Tuhan.



Karena diam adalah cara para pendo’a mengucapkan terima kasih dan mohon maaf lewat bantuan Tuhan.


Aku Bisa Apa?

Senin, 31 Agustus 2015

Sebenarnya, aku kurang suka berubah jadi diem, jadi alim atau jadi cantik dengan pergi ke salon. Setidaknya untuk,,,, ehm, anu, inner beauty. Setidaknya ingin, ya,, ingin kamu tetap berada disampingku, memandangku, dengan hati yang berkata "Ah! Kamu buat aku sekarat!"
Sebenarnya hanya itu, tapi ternyata, setelah kamu lihat metamorfosisku, ternyata, ah....

Kamu merasa mual, badanmu panas, kepalamu pusing dan sekarang,,, jatuh sakit. Dan bahkan kamu bilang "Alimnya kamu kaya martabak alim, nggak alamiah. Diamnya kamu semacam ngumpul bareng temen2 di puncak, tiba-tiba nyium bau. Udahlah. Sesek sampe idung. Tamatin. Ga usah sok alim dan diem. Aku ga nuntut. Tau nuntut? Itu makanan semacem siput."

Oh, tutut.

Oke, cukup tau! Aku yang nyablak dan malu-maluin bakalan kembali ke langit sampai kamu sehat. Sampai kamu paham betapa inginnya aku terlihat sempurna dimatamu.
Setidaknya, demikian.
Karena demikianlah aku menginginkanmu.




Reinkarnasi Rasa

Senin, 10 Agustus 2015


Semenjak kau tak ada, rasa yang susah dijelaskan terasa jelas sekali, dalam dada. Malam-malam yang terasa begitu demikian indah, kenangannya, suasananya, dan kamunya, seolah-olah sembunyi di tempat yang sama sekali tidak akan pernah kutemukan. Meski keadaan masih sama seperti dulu; masih bisa menulis di tempat yang sama, masih dapat melakukan hal-hal seperti biasanya, masih merasakan suasana pagi, siang dan malam, namun tetap saja rasanya beda, perasaan sesak itu demikian menyakitkan.

 Aku tidak bisa melakukan apapun kecuali diam, menunggu kaset kenangan selesai diputar. Dan setelahnya aku bersusah payah agar air mata tidak jatuh, pada wajah yang semakin tak kukenal rautnya. Pedih, sakit, sesak. Ketiganya aku telan mentah-mentah.

Semenjak kau tak ada, aku mulai berkenalan lagi pada tangisan rindu. Semua begitu pecah pada keheningan dan beberapa bagiannya juga ada yang hancur. Entah pada level yang keberapa aku mulai menyadari bahwa bersahabat pada kesendirian tak begitu menyakitkan. Seperti bertemunya senja pada bulan yang selalu berbincang tentang hal yang sama, menyinari semesta. Meskipun pertemuan itu hanya sebentar namun tak begitu disesalkan, karena mereka percaya akan esok datangnya sebuah pertemuan.



 Aku masih ingat bagian tentang pertemuan indah bersamamu, tentang senyum dan tatapan dalam dekapan rindu yang tiap harinya begitu sempurna. Bagian dimana aku ingin melihatnya berkali-kali, seperti candu akan dirimu. Di sini terasa hangat sekali, pada detak jantung yang memburu setiap melihatmu. Meski yang kita lakukan sederhana, hanya duduk di teras berdua denganmu atau bercerita tentang apa saja yang tak ada habisnya. Dan bahkan hanya memandang wajahmu terutama kedua matamu dengan diam, tanpa bersuara. Demi apapun ini rasanya semakin hangat, pada hati dan pikiran kita yang berteriak menjamu bahagia.  

Namun semuanya hilang setelah kamu memilih dia yang lebih baik dariku. Memang benar, kita harus memilih kehidupan yang lebih baik terutama perihal seseorang yang akan menemani kita selamanya. Sebenarnya aku tidak apa ditinggal meski caramu agak sedikit memberatkan hati. Aku mengerti bahwasanya kita memiliki kepribadian yang berbeda-beda dan mungkin saja caramu melepaskanku begitu sempurna. Caramu yang meninggalkanku secara sembunyi menggenggam erat seseorang yang belum pernah kukenal. Padahal, aku tidak apa jika kamu meminta keluar pada pintu hati yang masih terkunci, padahal aku akan tetap membukanya dan mengucapkan salam perpisahan padamu tanpa kebencian. Namun yang ada, kamu malah mendobrak pintu tersebut sampai rusak. Sampai rasanya tidak mengenakkan sakitnya.

Sebenarnya aku tidak begitu memikirkanmu, hanya saja sisa-sisa kenangan masih melekat pada ruang hati ini sampai menipuku jika aku baik-baik saja. Dengan terpaksa aku masuk pada ruang tersebut untuk membersihkan semuanya atau bisa jadi merusak ruang tersebut sampai hancur agar tidak ada seseorang yang menempatinya. Karena aku tidak ingin seseorang menempati ruangan ‘sampah’ itu. Aku ingin menempati seseorang yang begitu spesial dengan tempat yang spesial pula. Tidak ingin memberinya dengan sisaan. Karena dia bukan kamu, bukan kamu dan memang bukan kamu.

Dia bukan kamu adalah dia yang sekarang bersamaku.

Dia bukan kamu yang membuatku kecanduan, namun dia yang membuatku akan kebutuhan. Dia yang menemuiku dikala kehidupan hampir berakhir padahal sama sekali tidak berakhir. Dia yang menarikku untuk keluar dari lingkaran kesakitan. Dia, pada hal tentangku yang dapat terbaca olehnya. Dia yang diam-diam selalu mendoakanku ketika aku bersamamu. Ya,,, Tuhan yang mengabulkan permintaannya, yang ternyata do’aku disambungkan pada do’anya dalam sepertiga malam. Karena dia yang telah mencintaiku sekian lama dan bersabar menjemputku sampai pada waktu yang tepat.

Semenjak itu aku mulai melupakan rasa pedih, sakit, sesak. Ketiga kata itu tidak pernah kusentuh lagi.

Dulu aku merasa kamu naik tingkat diatasku, lebih hebat dan bahagia daripadaku karena berhasil membuatku kelu. Bisa benar memandangimu dari kejauhan dan menyalahkan diriku sendiri betapa bodohnya aku perihal kebegoan-kebegoanku bercerita pada semesta tentangmu. Menyakiti diri sendiri sampai lupa bahwa kehidupan tidak pernah berakhir meskipun kehilangan seseorang. Semua aku lalui dengan,, yah,, melihatmu bahagia dengannya.

Namun seiring dengan waktu, seiring dengan melangkah ke depan bersamanya, aku tidak lagi memikirkan tentang siapa yang lebih hebat dan bahagia dari kita. Dunia tidak seperti melihat sepotong roti yang dilapisi berbagai rasa, tapi dunia seperti apa aku menikmati sepotong roti pada rasa yang lengket di mulutku, memanggil untuk mendekat pada tenggorokanku seraya berbisik jika nanti aku akan melupa tentang rasa yang buatku sekarat.

Dan sekarang semuanya terbalik, aku tahu bahwasanya kamu diam-diam memperhatikanku. Membuka media sosialku tanpa kuketahui, menyalahkan dirimu sendiri betapa bodohnya kamu meninggalkanku. Kamu yang selalu berharap akan suatu hari nanti dapat bersamaku lagi meskipun kamu tak bisa melakukan apapun karena kesalahanmu bukan hanya padaku saja namun pada keluargaku juga.

Kamu yang masih selalu menyamakan pasanganmu denganku, tentang konyolnya pasanganmu, tentang kebaikannya dan tentang apapun yang ada pada dirinya meskipun setelahnya kamu sadar bahwasanya semua sangat berbeda. Dan meskipun sesudahnya kamu berusaha keras mengikhlaskan takdir yang telah kamu pilih.

Aku bukan terlalu percaya diri bukan pula terlalu gede rasa. Namun aku tahu, kebersamaan kita dulu bukanlah seperti bocah ingusan yang masih merengek pada cinta, lalu setelah berlalu semua akan menghilang tanpa berbekas dan bahkan aku mengenalmu tidak hanya sehari saja yang setelahnya menjadi seorang manusia di dalam semesta tanpa bertemu kembali. Jadi, paham benar perihal kamu atas kebodohanmu.

Aku mengenalmu dan biarlah semua tentangmu menjadi bagian perjalananku saja. Selebihnya, aku tidak peduli. Tidak juga menuntut untuk kau menghilang pada kehidupanku. Dan sekali lagi, aku tidak peduli sekalipun kamu masih berharap cinta akan menyatukan kita kembali.

Karena aku bukan aku yang dulu, melainkan aku dengan dia yang tidak akan kulepaskan dia begitu saja.

Tapi ada hal yang harus kamu tahu, seiring dengan berkelana mencari tujuan yang tepat dengannya, aku mulai memahami bahwa kamu merupakan seseorang yang sangat berjasa untukku. Karena dia bilang, tanpamu, aku dan dia tidak akan pernah bersama dan memahami bagaimana menjaga seseorang agar tidak merasakan kehilangan lagi. Dan dengannya pula aku mulai belajar bagaimana cara memaafkan seseorang dan tidak lagi merajuk pada kehidupan yang sempat aku rasakan pada kursi kesakitan.

Inilah aku,  mereinkarnasi cinta. Pada seseorang yang tidak ingin melewatkan waktu tanpaku. Pada seseorang yang tidak akan melepaskanku begitu saja. Karena ketiga rasa itu, pedih, sakit, sesak- pernah juga dia alami sebelumku. Jadi paham betul hatinya diletakkan dan dimiliki siapa.

Dan sekarang, aku dapat tersenyum dengan bahagia. Sudah memulai satu langkah untuk menuju gerbang bahagia. Disana, gerbang bahagia kehidupan yang baru dengannya sudah dibuka. Tidak akan lagi merasakan yang-entahlah-sedemikian-sakitnya-itu. Meninggalkan kenangan dan juga kamu yang tak akan pernah kubawa pada kehidupanku bersamanya. Aku tidak ingin merusak kesetiannya hanya karena seseorang dimasa lalu yang –mungkin saja- menyesali perbuatannya.

Tapi tenang saja, aku akan mengajakmu merasakan betapa bahagianya aku sekarang. Ajaklah dia yang telah bersamamu untuk merasakan kebahagianku, dan satu hal, jangan kau pergi lagi pada seseorang yang baru dan meninggalkan dia ditengah-tengah kehidupan yang dapat menjadikannya bingung. Meskipun kamu memulai hubungan dengannya diantara kesakitanku, tapi aku tidak pantas menyalahkan kalian atas rasa yang sedemikian sakitnya. Atas kebahagian kalian yang tidak bisa kusalahkan karena kekecewaanku.

Karena ada seseorang yang mengingatkanku tentang arti memaafkan, mengikhlaskan dan bersyukur. Ya,, setelah memaafkan dan mengikhlaskan yang telah berlalu, aku semakin bersyukur memiliki dia sekarang. Ya,, seseorang yang tidak akan kubiarkan pergi.

Karena disana, dengannya, pada seseorang yang tidak akan melepaskan genggamannya padaku. Pada seseorang yang terpatri janji dan mereinkarnasi perasaan hanya denganku.

Cinta – Janji, satu pada tempat yang telah disetujui Tuhan.

Terima kasih, kamu.
Terima kasih, Anda.
Tanpa kalian, aku mungkin tidak pernah bersama dengannya.



   

PRIA

Sabtu, 18 Juli 2015







Pria itu masih berusaha menenangkan hatinya. Berkali-kali ia memijit keningnya, menghentakan kakinya bahkan mondar-mandir tak jelas. Namun tetap saja, hatinya masih berteriak hebat. Menahan sakit, menahan amarah, menahan kecewa dan juga menahan kehidupannya.

Ruangan yang ditempatinya gelap, tidak ada cahaya yang menyeruak dari jendela maupun celah pada dinding . Dia suka kegelapan, membuatnya meraba apa yang dirasakan. Yang dia rasakan adalah yang sering dia pikirkan. Yang dia pikirkan adalah yang sering dia khawatirkan.

Ada banyak sarang laba-laba yang bersarang dalam otaknya. Sengaja tak membersihkannya biar dia tidak perlu memikirkan hal-hal yang tidak terdaftar dihidupnya. Tapi memang sial!  Ada saja nasib yang tidak berpihak padanya, lagi-lagi kehidupan yang dijauhi,  sengaja berlari biar tidak terjebak malah sekarang tercebur.

Kamu tidak perlu tau siapa dia. Sebelum semuanya berantakan, dia merasa hidupnya baik-baik saja. Tidak serunyam ini, tidak sebegitu menjijikan seperti ini. Dia saja sangat muak dengan adegan hidup yang basi seperti ini. Jadi, mari kita sebut pria itu, Dia.

“Ada beberapa dikehidupan ini yang sengaja nggak perlu dipahami. Biar ngga bebanin otak dan bikin hidup sumpek.”

Lagi-lagi adegan klise, Dia menyesap kopinya sedikit demi sedikit setelah mondar-mandir tak jelas untuk menikmati rasa yang ada didalamnya. Ya, rasa yang pernah ada diantara manis dan pahitnya kehidupan. Kehidupan pada dunia yang berlari menjauh dan sengaja mendekat tanpa tau kejelasannya.


Dia menunduk, sengaja agar kepalanya tercebur di cangkir kopi. Padahal dia tau, tidak mungkin kepalanya yang besar muat kedalam cangkir. Paling-paling yang tercelup hanya beberapa helai rambutnya.  Tapi itulah Dia, Dia suka sekali dengan hal-hal mustahil dan akan berusaha apapun supaya jadi mustajab. Bermanfaat untuk banyak orang.

Tapi tidak dengan sekarang ini, hari ini, detik ini dan semua artikel kehidupannya. Karena ini bukan lagi perihal bermanfaat untuk orang banyak, tapi perihal dimanfaatkan oleh orang banyak.

Sebab yang paling Dia rasakan adalah kehilangan. Ya, kehilangan sosok dirinya yang tangguh, kuat dan beku.

Tangguh. Tak peduli berapa banyak kesakitan yang menempanya. Penerimaan tulus ikhlas yang menjadikan Dia tangguh. Begitu kuat dan begitu hebat. Semua Dia terjang tanpa memikirkan rasa sakit, kebencian, dan bahkan kemunafikan. Dia tak mengenal ketiga kata itu.

Kuat. Yang ini lebih dari sekedar tangguh, Dia memiliki kekuatan yang begitu hebat. Seperti baja atau sosok pahlawan yang datang untuk menyelamatkan dunia. Dia selalu ada disaat-saat orang membutuhkan pertolongannya.

Beku. Seperti gunung es. Kokoh berdiri kuat dan dapat merusak apapun yang menyentuhnya. Namun dia lupa, ada matahari yang masih berdiri angkuh diatasnya. Dapat mencairkan yang beku termasuk Dia.

Dia, seorang pria tangguh dan kuat namun beku sementara. Dia, akan meleleh pada kehidupan yang seharusnya mampu dilewati. Karena satu hal ini, dia tak kunjung berdamai dengan hatinya sendiri.

Dia, kalah dalam perasaannya.




Pada Segalamu

Pada segalamu, hidup tak kuhitung seberapa sering terjatuh dan merintih. Penantian bahagia ada segalanya padamu, bahkan hanya kata rindu mampu membuat aku sekarat. Itulah hebatnya kamu.

Memilikimu, sebaris senyuman di pagi hari, meresap pada jiwa dan bahkan diam-diam aku tepikan jatuh cinta hanya padamu saja. Kamu adalah teka-teki yang terpenjara dalam batas logika, setiap berhenti dimatamu, aku ingin lari bersamamu; hanya kamu.

Pusaran titik ini tertulis namamu, meluap tanpa kendali. Hanya bisa menyudahi segala ragu dalam hati, untukmu; untuk kita. Kita satu, tak ada yang dua, sebab kita bertemu dengan penyatuan dan tak ada niat menduakan.

Aku masih setia berdiri pada harapan yang sama. Berteriak. Hanya namamu yang kuingat. Selebihnya aku hilang ingatan. Karena aku ingin, kita berkelana bersama dan menepikan tujuan dengan indah.


Selamanya, denganmu.

BELUM SELESAI

Kamis, 30 April 2015

Belum selesai.

Apa yang selama ini menarikku keluar dari pusaran cinta, memekikan rindu yang semakin tak beraturan. Ajaibnya, kamu ada diantara serpihan cinta setelah hancur dan tak bisa kembali utuh. Ironisnya, kamu terlihat sebelum rindu terpenjara dalam tahanan hati.

Entah nyata atau semu, aku ingin menarikmu berkeliling pada sisi yang masih terkunci, membantu membuka pintu hati sekali lagi, hanya bersamamu. Mungkin saja Tuhan akan mengiba pada tiap-tiap kunci yang berdo’a, mengeja tiap rapalan yang terlalu bungkam, merestui harapan yang berulang kali kita lafalkan.

Bisakah kamu tinggal di taman hati dengan waktu yang lama? Karena itu, bisakah kita tidak mengingat alasan bertemu di sudut hati? Aku sudah bisa mengikis kerak hati yang berkarat, bagian itu karenamu. Karena itu, bisakah kita saling melupa tentang alasan-alasan, seperti alasan aku bertemu denganmu. Karena itu, aku menginginkanmu.

Yang sudah-sudah, yang tak betah lalu kian menyerah, semoga kamu bukan deretan lelaki pasrah. Aku ingin, kamu ingin, rindu pun kian menyergap puing-puing hati. Maka dari itu, bisakah kamu tetap tinggal sebagai pemeran utama? Aku sekarat jika terlalu sering menggantikan peran utama secara berunut.


Karena aku ingin, kamu ingin, menjadi kita yang seiya, searah.


Seiya Searah

Yang ini lebih dari sekedar tentang rindu, rindu sebelum hati menyembunyikan rasa. Aku tau, tidak ada waktu yang salah maupun benar untuk menebus dosa, meyakinkan pilihan dan menemukan bahagia dalam pilihan.

Sekali lagi, ini lebih dari sekedar rindu. Teman sepi yang selalu memutar kenangan begitu hebat. Syairnya sedikit gila, membuat isi kepala berteriak menjamu namamu. Dan bahkan alunannya sukses menarikku memasuki ruang hati.

Bagaimana jika kita berpura-pura mimpi, atau menganggap keadaan ini hanya sandiwara. Memainkan peran sesuka hati tanpa ada peran utama. Kau boleh berperan antagonis, terserah kalau kau ingin menjadi bawang merah yang begitu kejam, atau bisa jadi memilih jadi saudara tiri cinderella. Tapi ingat, aku tidak ingin memainkan tokoh baik yang akan bahagia.

Karena aku bukan tokoh dalam cerita di otakmu. Karena kau lupa, bahwa tulisan ini bercerita tentang 'lebih dari sekedar rindu'. Dan kau, pria.

Lalu?

Biarlah begini sampai kita mulai menyadari untuk melupakan. Melupakan kesedihan, melupakan kesakitan, melupakan kesalahan seseorang di masa lalu.

Biarlah seperti ini sampai kita mulai menyadari untuk tersadar. Sadar bahwa orang-orang baik ditempatkan pada masa lalu agar tidak salah melangkah pada bab hidup selanjutnya. Sadar bahwa Tuhan menemui kita di waktu sekarang, pada hati yang pernah tersakiti sebagaimana sakitnya. Dan juga sadar, bahwa 'lebih dari sekedar rindu' yang kurasakan ini bukan lagi rasa sakit.

Ternyata, lebih dari sekedar rindu ini adalah kesempatan memilikimu dengan perlawanan. Kenapa demikian? Karena demikianlah pikiranku melawan takut. Yaa, Melupakanmu.

Takut tidak seiya, searah berada di ruang 'tunggu'.

Aku Bilang, Dia..

Rabu, 17 September 2014


Aku tidak pernah meminta pergi atau menyuruh seseorang menahanku pergi. Karena bagaimanapun,  berdiam di 'rumah kehidupan' seseorang juga bisa sebagai penguat hidup disaat hampir terjatuh. Ketika berpisah pun juga tak lupa, bahwa kepergian bukan seperti permainan yang akan diulang kembali jika melakukan salah strategi. 

Seperti perihal cinta. Awal tahun kemarin, aku yakin akan berjodoh dengan seseorang yang sudah bersinggah dihatiku sangat lama, tapi ternyata dipenghujung tahun, aku dibersamakan dengan orang baru, orang yang mampu berdiam dihatiku sampai tiba waktu kepergiannya menuju alam lain. Ternyata kepergian itu tak selamanya menyakitkan, tak selamanya merasa kehilangan. Karena ternyata, dalam dimensi yang berbeda, Semesta tak ingin membiarkan aku jatuh di dalam lubang kecil yang kedap udara bahkan sampai membusuk dalam tumpukan tanah.

Buktinya, aku merasa kehadirannya -seseorang yang sanggup menggantikan orang lama- sebagai pembuka jalan setelah sekian lama pintu perjalanannya terkunci. Mencari sampai bersinggah dihati seseorang yang ternyata bukan pemilik kunci. Aku heran sekali, bagaimana takdir terlalu cepat menyatukan aku dan dia namun mampu membuat adanya perubahan-perubahan manis dalam kehidupan.

Aku masih ingat dulu, sebelum aku dan dia dekat, aku terbiasa melepas hijab di depan umum. Namun sekarang, adanya dia aku selalu diingatkan, bahwa hijab bukan candaan hidup yang dilalui tanpa mengenal dosa atau pahala sekalipun. Pelan-pelan aku mulai menyadari bahwa muslimah memang harus menutup aurat, pelan tapi pasti aku mulai memperdalam ilmu bagaimana menjadi wanita sholehah dan setelah proses itu selesai, mulai sekarang aku ingin memantaskan diri untuk Tuhan dan untuk bagiannya, dalam sisi yang masih aku telusuri.

Padahal dulu, dia bukan pria baik-baik, bukan pula pria yang mampu mendekatkan diri pada Tuhan. Bahkan sebelum aku dan dia menyatu, dia terlalu jujur menjelaskan aib yang pernah dia lakukan. Tapi setelah aku dan dia bersama, malah dia yang selalu sering mengingatkan beribadah, membangunkan aku disepertiga malam, bahkan mampu memberikan pencerahan tentang hidup dan agama dengan 'gaya konyolnya' tapi dapat membuat aku terkagum. Aku tak peduli seberapa buruk masa lalunya, karena aku ingin menyibukkan diri berjuang agar aku dan dia mendapati tempat paling indah di surga nanti.

Dia juga seorang pria sederhana, tak pernah membangga-banggakan kemewahan. Aku menyukai seseorang seperti itu, tidak mengumbar cinta dengan barang yang dia miliki. Bahkan ketika dia mendapat rezeki atau hal yang membahagiakan dia, dia selalu berucap, "Alhamdulillah, aku senang karena bersyukur punya kamu." Meskipun lelah karena kerja seharian, dia juga selalu berucap, "Alhamdulillah, gak apa-apa capek asal aku bersyukur punya kamu." Dan bahkan ketika aku dan dia bercanda dan aku mengatakan dia aneh, jawaban dia tetap sama, "Yang penting aku bersyukur punya kamu."

Dia seperti taman yang teduh, yang sangat berduri jika dipandang terlalu lama. Dia berbulu mata lentik, alis tebal dan bahkan manik mata kecoklatan mampu menyihir pandangan setiap kali aku berhadapan dengannya. Gayanya yang konyol, terkesan apa adanya dan tidak melebih-lebihkan keadaan semakin membuat aku merasakan bersyukurnya memiliki. Bahkan satu hal yang membuat aku terus bersyukur memilikinya, yaitu dapat membimbingku agar tidak lagi tersesat di jalan, sendirian.

Yang terakhir, aku tidak mau lagi sering berpergian, berkelana yang tak pernah ada ujungnya. Bahagiaku ingin dibersamakan dengan dia, karena sudah terlalu letih mencari jalan, terlalu sakitnya tertusuk harapan dan keterlaluan jika melakukan hal itu lagi. Aku tidak ingin menjadi bodoh, membenarkan kata-kata bijak tentang bahagia tidak harus memiliki. Toh, aku bahagia memilikinya, bersyukur tak terbatas menikmati hadiah Semesta.

Meskipun aku yakin, suatu saat nanti kepergian akan terulang kembali. Tapi nanti, di waktu yang tepat ketika jalan menuju bahagia disela jemarinya akan terus menggenggam tangan ini sampai Tuhan berkata, "Waktu kalian telah berakhir."

BAGIANMU TELAH BERAKHIR

Jumat, 12 September 2014

Kepadamu, kutitipkan kenangan yang baru saja selesai menyimpan ingatan begitu rapih. Lipatan-lipatan masa lalunya dibungkus cantik bersama do'a. Masanya telah berakhir. Semua pemberian darimu telah mencapai puncak bahagia, meski telah menghujam hati berkali-kali. Terasa pedih memang, tapi aku bisa apa selain meletakanmu dalam deretan seseorang yang telah berjasa merubah hidupku menjadi lebih baik.

Karena bagianmu telah berakhir.

Susah memang melepaskan sesuatu yang ternyata bukan milikku. Tapi mungkin saja, Tuhan ingin melihat aku tersenyum lebih indah dari biasanya meski tanpa memiliki. Karena aku yakin, pelan-pelan semua akan terlupakan, pelan tapi pasti semua akan berjalan tanpa memaksakan kehadiranmu lagi.

Aku akan terus berjalan, dengan atau tanpa kerinduan ingin bersama. Karena kesedihan bukan kesalahan berada bersamamu, tapi karena terlalu sulitnya kita mencari bahagia. Kesulitan yang terhalang egomu. Pasti dengan kamu membaca ini, kamu akan berkomentar "Siapa yang ego, aku atau kamu?!" -Dengan nada tinggi dan kedua alis yang terangkat.

Dengan komentar seperti itu, tanpa dijawab pun akan tahu jawabannya.

Ah,, Sudahlah,, akupun juga tak ingin membahas 'salah-jalan-yang-kita-lalui' karena masanya telah berakhir dan dengan itu berakhir pula harapan-harapan dalam penyatuan janji, rapalan do'a dan perjuangan yang kusebut 'kebodohan'. Aku tak menyesal separuh hatiku pernah singgah dalam hidupmu, karena dengan begitu aku jadi mengerti bagaimana cara agar keluar dari terjebaknya sakit-hati.

Terima kasih telah memberikan arti begitu nyata tentang bagaimana meletakkan cinta yang sesungguhnya. Aku ingin cepat-cepat tulisan ini berakhir, jadi, boleh kita melepaskan genggaman sekarang? Aku akan berjalan ke arah yang lain, yang pintunya masih terkunci, yang belum mengalami kerusakan fatal sampai tak bisa dibenahi seperti jalan yang kita injak sekarang. Jadi, tolong lepas genggaman sekarang juga.

Selamat jalan, dan selamat tinggal.... Aku beri kau hadiah terakhir berupa kenangan..




Catatan Anak Buangan

Senin, 23 Juni 2014



Seharusnya bagian prolog ini nggak membunuh gue. Seharusnya ada rangkaian kata yang lebih hebat daripada prolog yang menyebalkan seperti ini: 
“Terdengar suara burung, teriakannya seperti meremehkan diri gue yang telah terbiasa dengan keadaan pecundang. Bahkan, sampai suara angin yang sanggup menggugurkan daun, seakan mewakilkan diri gue yang semakin lama menggugurkan kekuatan.”
Itu prolog kampungan, bisa-bisanya ngeremehin gue. Gue yakin, mereka nggak suka sama kedatangan gue dalam kehidupan ini, karena memenuhi kuota manusia yang masuk ke dalam daftar buangan.  Karena awalnya, gue emang buangan, deretan pecundang yang layak dijadikan predikat nol. Nol dalam pernyataan, “Lo cuma penuhin sampah di bumi ini.”
Boleh gue kesal sendiri dengan kata-kata jagoan? Seperti brengs*k, F*ck, Atau bisa jadi still a little b*tch! Karena semakin lama, gue sadar, apalah arti kehidupan yang terbentang dengan megah jika dindingnya banyak duri yang siap menusuk gue ketika gue melangkah. Padahal gue udah mohon-mohon pake nunduk ke benda-benda beracun itu, agar menyudahi semua kesakitan. Tapi, ahh,, lagi-lagi semua berakhir sia-sia. Gila,, disangka gue besi baja kali ya, yang mampu dan sanggup berdiri kuat ketika dihujam berkali-kali.
Semua ini tentang kehidupan, kerap kali keluar-masuk lingkaran yang bias untuk merasakan perasaan yang beragam. Terbiasa menahan sakit, terbiasa menertawakan diri sendiri, terbiasa bahagia diantara kekalahan, terbiasa berharap untuk menyudahi keadaan dalam ketiadaan, terbiasa sendirian untuk mematahkan putus asa, terbiasa (menghayal) hidup mewah diantara dua lembar uang dua puluh ribu rupiah dan juga,, terbiasa,, ditinggalkan seseorang disaat hati mulai ingin membuka lembaran baru.
Perkara hati merupakan perkara jatuh cinta. Perihal cinta yang membuat gue bodoh, bisa-bisanya gue masih menetap dalam ketidaktetapan, namun mampu membuat gue berusaha untuk menjadikan sebuah ketepatan yang tepat untuk menempati ruang tersebut. Gue nggak menyalahkan takdir yang terkadang sering bercanda dengan lelucon-lelucon keadaan. Mencoba membunuh gue secara perlahan karena gue nggak layak ditempatkan dalam kehidupan ini.
Kata-kata kebodohan, kesal sendiri dengan ucapan-ucapan yang nggak pantas terlontar—itu diperuntukan untuk diri gue sendiri. Gue nggak menyalahkan semua orang yang seenaknya keluar masuk dalam kehidupan gue, walau hanya beristirahat sejenak lalu meninggalkan ampas yang efeknya bisa buat gue sekarat. Sesakit apapun dalam kehidupan gue, setidaknya gue berterima kasih pada mereka karena telah mengajarkan gue bagaimana cara bertahan ketika reruntuhan hidup terasa nyata.
Tapi disini, gue nggak mau bahas tentang masa lalu yang kerap kali membuat gue ketawa sendiri dengan kebodohan-kebodohan yang lugas, meskipun sampai saat ini gue masih merasa tersiksa dengan kehidupan gue sendiri.
Disini, gue mau bahas tentang elo. Anak baru yang belum bisa ngebaca taktik jitu untuk meruntuhkan dinding tak kasat mata. Mencoba berlagak hebat, layaknya jagoan yang nggak pernah merasa kalah tanpa ampun. Lo keren, lo super dan lo merasa yakin dengan semua cara yang menurut lo paling ampuh untuk meruntuhkan semua tembok yang menghalangi jalan lo dikehidupan gue. tapi, lo lupa, hanya gue yang sanggup memegang peranan utama dalam kehidupan yang nyata.
Lo masih belum bisa ngebaca, bagaimana cara gue sanggup bertahan ketika gue jatuh tersungkur dengan kesakitan yang telah diperbuat oleh masa lalu gue. Cewek semacam elo, nggak bisa berbuat apapun, selain jadi patung manekin yang dipajang berjejer di etalase.
Gue butuh orang yang sanggup mengeluarkan gue dari lubang kesakitan untuk menuntun gue menuju rumah baru. Bukan ngeliatin gue dari atas sana hanya untuk berteriak menanyakan keadaan gue tanpa berusaha untuk menolong gue. Gue butuh orang yang sanggup bertahan dengan keadaan sampai gue bebas. Jangan terus tanya bagaimana caranya, tapi terus bekerja agar tahu caranya.
Dan untuk hal itu, lo belum sanggup. Lo belum bisa menerima kenyataan pahit kalau gue masih berada dideretan orang-orang yang nggak layak untuk hidup. Padahal, jika lo terus bertahan dengan keinginan lo bersama gue, akan ada waktu yang tepat  menyadarkan gue atas perjuangan elo yang terus berusaha narik gue untuk menjauh dari kesakitan-kesakitan itu. Bukan begini caranya, meninggalkan gue ketika gue pesimis dengan kehadiran lo.
Mungkin, untuk saat ini, lo nggak nampak dikehidupan gue. Tapi gue yakin dengan suatu hari nanti, dimana ketika perjalan gue sudah tidak ada dinding benda beracun itu, satu-satunya orang yang akan gue temui cuma elo. Karena sampai saat ini, nggak ada satupun dalam kehidupan gue yang berani hadir menampakan dirinya dihadapan gue. Mereka cuma ngintip lalu pergi gitu aja setelah tahu kalau gue masih menjabat predikat pecundang.
Memaksakan itu bukan perkara hebat. Dan gue nggak pernah memaksakan lo untuk terus sanggup dan berdiri kuat disaat gue terlelah dalam sembarang waktu. Bahkan disaat elo mulai merasakan sakit hati.
Tentang sakit hati bukan persoalan dia yang telah mengecewakan, dia yang gelap mata dengan kehadiran kita yang terus setia, bukan juga tentang dia yang bodoh tidak merasakan kehadiran kita yang benar-benar menyayanginya. Tapi ini tentang diri sendiri, bercermin atas kesalahan sendiri. Mengapa orang yang disayangi memilih pergi. Ini yang perlu dikoreksi dalam kehidupan kita sendiri. Apakah selama ini cara kita belum benar untuk mengaplikasikan semua kebaikan untuk dia.
Yaa,, ini berlaku juga untuk gue ke elo, ketika lo merasa kecewa dan memilih pergi karena nggak sanggup berusaha mengeluarkan gue dari lubang masalah. Gue sadar, kalau sikap gue yang salah. Namun, gue nggak bisa berbuat apapun selain menatap kepergian lo yang semakin lama semakin menjauh. Karena sekarang ini, gue pun masih belum tahu bagaimana caranya berusaha keluar  mengejar lo untuk menemani gue sekali lagi.
Sekarang lo udah mengerti, kehidupan orang yang ada disekeliling lo merupakan pembelajaran bagaimana menjadi seorang wanita yang tangguh.


Selamat memilih dan selamat pergi.


Jakarta, 23 Juni 2014.






Gue, Arga.

battlepujangga

Cute Running Puppy
RISTY PUTRI INDRIANI

Category list

Ads

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Blogger news

Clapping Hands

Twitter

Blogger templates

Clapping Hands
Clapping Hands